Chodd Diya

 

I have left that road

I have left that road

From where you used to pass

I have left that road

From where you used to pass

***

Aku menatap kedua telapak tanganku yang terbuka, menghitung berapa jari-jari besarku. Sepuluh, sesuai dengan tahun yang sudah aku habiskan tanpamu. Sepuluh tahun, sudah berlalu, dan untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki lagi di kota ini, tempat terakhir aku bertemu denganmu, menemuimu, dan kamu meninggalkanku...

selamanya.

Mataku kembali menatap ke luar jendela. Salju sudah turun dari semalam, kini jalanan di bawah sana berwarna putih, tertutupi oleh air langit yang berubah bentuk menjadi padatan dingin itu.

Sepuluh tahun berlalu, toko-toko yang berjejeran di sana kini banyak berubah, ada toko baru maupun toko lama yang direnovasi kembali. Perubahan jalanan ini cukup signifikan dalam waktu sepuluh tahun, namun bayanganmu masih di sana. Berjalan di tengah salju yang turun, menari-nari kecil, menengadahkan telapak tanganmu untuk mengumpulkan butiran-butiran benda dingin itu.

Bayanganmu masih di sana, tersenyum lebar. Bahkan suara renyah tawamu masih terdengar. Sangat indah.

Aku benci itu.

Aku benci bahwa setelah sepuluh tahun, aku kembali ke kota ini, berdiri di balkon lantai ketujuh apartemen ini, memandang ke jalanan di bawah dan bayanganmu masih di sana. Seperti saat pertama kali aku melihatmu, berjalan dengan riang di bawah sana, menampilkan senyuman termanis yang pernah aku lihat.

Dan,

air mataku kembali menetes.

Dan,

dadaku kembali sesak.

Rasanya masih sama, seperti baru kemarin kamu meninggalkanku, Hyeyoon-ah.

Meninggalkanku, untuk selamanya.

Aku benci itu.

***

I have broken that mirror

In which I could see your reflection

***

Aku turun satu lantai, bersandar pada pembatas di balkon lantai enam. Masih menengok jalanan penuh salju di bawah sana. Kamu tahu, Hyeyoon-ah? Beberapa orang menegurku karena cuaca yang dingin dan hanya mantel cokelat menjadi lapisan terluar pakaian yang menghangatkanku. Aku hanya tersenyum sopan dan menggeleng, batinku berteriak, bahwa diri ini lebih dari hangat, tubuhku panas, karena pertempuran batin dengan logikaku. Pikiran warasku kalah telak. Nyatanya, setelah sepuluh tahun berlalu, ragaku di sini, kembali lagi, hanya untuk memastikan bahwa diriku sudah bangkit, hatiku telah bangkit, yang mana kenyataanya tidak, Hyeyoon-ah.

Apa yang aku bangkitkan? Semua kenanganku tentang kamu.

Di sana Hyeyoon-ah. Toko gaun yang selalu menyita perhatian dan waktumu setiap kamu melintasi jalanan ini. Toko itu masih berdiri kokoh, masih sama seperti sepuluh tahun lalu, masih sama.

Gaun pengantin putih yang cantik itu sudah tidak di sana, sudah berganti dengan gaun pengantin berwarna krem dengan model sederhana. Tapi bukan itu yang aku lihat sekarang, Hyeyoon-ah. Kaca bening toko itu, aku masih melihat jelas pantulan dirimu, yang tersenyum manis dengan mata berbinar memandangi gaun pengantin impianmu. Pantulan itu masih terlihat jelas, Hyeyoon-ah.

Aku benci itu.

***

I was like a stranger in your city, of your heart.

I couldn't find any close one

From your moments, the time we spend together, from my wounds

Now I am going far away

***

Kamu tahu, jalanan di depan sana bukan lagi diselimuti salju dalam pandanganku.

Kamu tahu? Kini, jalanan itu kering hingga terlihat paving berwarna abu-abunya yang dipenuhi bunga dan dedaunan berserakan di sepanjang jalan. Musim gugur telah tiba, seperti sepuluh tahun lalu, di mana kamu berdiri di sana. Memandang gaun pengantin di balik kaca itu dengan mata berbinar dan senyum manis yang lebar.

Kamu tidak sendiri, mungkin jika saat itu aku dapat membaca pikiran orang-orang di sekitar, mereka bergumam bingung, mengapa lelaki tinggi dan besar itu tiba-tiba ikut berdiri di sana. Lelaki yang berpakaian amat rapi, tuxedo hitam serta rambut yang tertata, bak calon pengantin pria. Lelaki itu, aku.

Aku bisa merasakan kepala kecilmu itu menoleh, lalu mendongak untuk melihat siapa gerangan si jangkung yang tiba-tiba menemanimu. Kamu tahu, Hyeyoon-ah? Hanya merasakan pandanganmu padaku saja, jantung ini berpacu lebih cepat dari tempo semestinya.

Aku ikut menoleh, menundukkan pandanganku, untuk melihatmu, menerka-nerka bagaimana ekspresimu. Menerka-nerka, apakah aku dapat memandang mata indahmu, menerka-ner---

Keningmu berkerut bingung, memandangku dengan tiga kedipan lucu. Aku takut saat itu, aku takut kamu berpikiran bahwa aku seorang pria mesum yang ingin menggodamu. Aku takut kamu hanya menatapku sebentar lalu berjalan pergi, tak menghiraukanku sama sekali. Lagi pula, siapa aku? Hanya orang asing yang tiba-tiba berdiri saat kamu menikmati momen kesukaanmu.

Namun terkaanku, ketakutanku, itu semua sirna. Ketika sedetik kemudian, kerutan dikeningmu mulai mengendur, bibirmu mulai tertarik, membentuk lengkungan indah yang disertai lubang di pipimu, menambah keindahan wajahmu. Kebingungan di matamu pun ikut hilang, tergantikan pandangan ramah yang membuat tempo jantung ini semakin cepat. Tak pernah aku bayangkan, bahwa menatap matamu sedekat ini, untuk pertama kalinya, merupakan salah satu hal yang aku syukuri pada Tuhan. Perubahan ekspresi itu, di mataku, berjalan amat lambat. Aku menikmatinya, sangat. Seperti terbit dan tenggelamnya matahari, momen ini sangat indah.

Kamu kembali menatap ke depan, pada gaun pengantin di balik kaca bening toko itu, untuk pertama kalinya kata-kata yang keluar dari bibir tipismu itu, terucap untukku

Kamu kembali menatap ke depan, pada gaun pengantin di balik kaca bening toko itu, untuk pertama kalinya kata-kata yang keluar dari bibir tipismu itu, terucap untukku.

"Bukankah gaun pengantin ini sangat indah?"

Pertanyaanmu bukan hanya sebuah basa-basi tanpa isi. Enam kata yang terangkai itu terdengar sangat bersahabat. Kamu tahu, Hyeyoon-ah, aku semakin yakin bahwa rangkaian huruf yang keluar dari bibirmu adalah melodi terindah yang menggetarkan gendang telingaku.
Aku mengangguk, sangat menyetujui pernyataan sekaligus pertanyaanmu itu, sayang.

Matamu menyipit sambil memandangku dari ujung rambut hingga ujung sepatu pantofel hitamku. Kamu tersenyum lagi, dan, aku kembali terpesona untuk kesejuta kalinya.

"Pakaianmu sudah seperti pengantin pria, tuan. Jangan bilang Anda kabur dari altar pernikahan yang suci itu!" matamu memandangku menyelidik, kamu melangkah maju, semakin mendongakkan wajahmu padaku. Aku kaku, terkejut, tak siap akan serangan kecilmu itu, sayang.

Bola mataku melirik ke kanan dan kiri, berusaha mencari jawaban apa yang cocok untuk pertanyaanmu tadi. Namun, bukan sebuah alasan konyol yang keluar dari bibirku, tapi telingaku menangkap kekehan renyah yang berasal dari bibirmu. Kamu tertawa, mengejek ekspresi kakuku. Saat tertawa, matamu jauh lebih menyipit seperti saat kamu tersenyum, bahkan seolah menutup. Kamu menikmati tawamu, aku pun begitu. Mati-matian kutahan tarikan bibirku ini, aku tidak mau kamu menganggapku aneh karena tersenyum lebar melihat tawa renyahmu yang indah itu.

"Aku tidak kabur, aku belum menikah," ujarku.

Kamu berhenti tertawa, lalu melihatku, kemudian tersenyum lagi, "aku bercanda, tuan."

Kamu kembali menatap gaun pengantin itu, kali ini senyummu tak selebar beberapa detik lalu.

"Ah, gaun pengantin cantik ini, setiap aku lewat seakan memanggilku untuk dipandang lamat-lamat."

Aku mengangguk, aku tahu itu. Bahkan penjaga toko sudah mengenalmu, mengajakmu untuk datang masuk dan mencobanya.

"Sepertinya cocok untukmu."

Kamu menoleh padaku sekilas lalu terkekeh pelan, seperti ucapanku adalah lelucon bagimu. Tidak, Hyeyoon-ah, gaun pengantin itu sangat cocok untukmu.

"Terima kasih loh, tuan." ucapmu setelah kekehan kecilmu itu berhenti. Aku menaikkan satu alisku, ingin menanyakan lebih jauh, mengapa kamu begitu pesimis dengan pujianku itu, sayang.

Sekali lagi kamu menoleh padaku, beberapa detik, sebelum kembali menatap gaun pengantin putih itu. Kamu menunduk untuk menghela napas, lalu kembali merangkai kata, "mempelai perempuanmu nanti pasti akan mengenakan gaun pengantin yang sangat cantik juga, tuan. Kalian akan menjadi pasangan paling indah untuk dipandang saat pernikahan kalian nanti, semua orang akan terkagum-kagum, mengucapkan doa dan berkat untuk kalian."

Aku tersenyum dan mengangguk kecil, sangat menyetujui ucapanmu, karena dalam benakku, mempelaiku adalah kamu, Kim Hyeyoon.

"Baiklah, sepertinya aku harus beranjak. Senang berbincang singkat denganmu, tuan calon pengantin!" kamu kembali menatapku dan tersenyum, jemarimu melambai sebagai tanda perpisahan. Tanpa menunggu jawabanku, kamu berbalik pergi. Langkah kakimu menjauh dengan pasti, rambut panjangmu bergerak seirama dengan pijakan kakimu pada bumi.

"Nona calon pengantin!" suaraku berseru memanggilmu. Aku tak berpikir bahwa tiga kata tadi akan membuat langkahmu berhenti, membuat kepalamu menoleh ke belakang, dengan tatapan lucumu.

"Saya?" tanyamu tanpa suara. Aku tersenyum dan mengangguk, kakiku berjalan mendekatimu.

"Kim Seokwoo," aku mengulurkan tanganku, membuka telapak tangan besarku. Kamu memandang wajahku dan tanganku bergantian. Kupikir, aku tak akan merasakan betapa lembut dan hangatnya jabatan tanganmu, ternyata pikiranku selalu salah.

Hangatnya telapak tanganmu menjalar sampai ulu hatiku.

"Kim Hyeyoon."

Hangatnya air mataku yang mengalir, membuat pandangan di sana kembali nyata. Jalanan itu kembali dipenuhi salju dan jabatan tangan itu perlahan menghilang.

Aku benci itu.

Aku benci bahwa tanpa membuka mata pun, hanya ada kamu.

Aku benci.

***

***

I didn't even gaze at those streets

Where even a mention of you is present

I have left that road

From where you used to pass

***

Kini aku berpindah diri, bukannya menjauh dari segala hal tentangmu, tapi aku malah semakin mendalaminya.

Bunuh diri.

Aku meninggalkan jalanan itu, memalingkan wajahku saat bayanganmu melambaikan tangan padaku, memanggilku.

Aku meninggalkan jalanan itu, memalingkan wajahku, untuk datang ke tempat lainnya, tempat di mana pertemuan kita bukanlah sebuah rencana sepihakku saja. Pertemuan kita adalah kebetulan-kebetulan yang dibuat Tuhan. Pertemuan selanjutnya yang direncanakan aku dan kamu, disertai izin Tuhan.

Sepuluh tahun berlalu, hampir semuanya berubah, bertambah tertata, rapi, dan indah.

Sepuluh tahun berlalu, namun setiap aku mengedipkan mata, semuanya hanya ada dirimu. Tawamu, marahmu, dan tangismu. Semuanya hanya ada kamu, di mataku.

Aku benci itu.

***

I was a traveller of your road

My limit was to reach you

because you were my destination

I was a traveller of your road

My limit was to reach you

***

"Hidup itu bagaikan perjalanan, tuan calon pengantin," kamu membuka percakapan malam itu, setelah lima menit lalu kita terlarut dalam pelukan hangat, saling memindahkan energi yang tersisa setelah seharian sibuk dengan urusan dunia masing-masing. Aku semakin menatapmu intens, "setiap perjalanan memiliki tujuan, pemberhentian."

Iya sayang, sejak kecil aku selalu menanamkan diri bahwa hidupku adalah sebuah perjalanan yang akan menyenangkan meski tanpa tujuan. Saat pertama melihatmu, untuk pertama kalinya aku memiliki tujuan dalam perjalanan ini, "kamu, tujuanku."

Kamu menoleh, menatapku dengan senyum menggoda, "setiap perjalanan, pasti ada persinggahan," kamu melanjutkan rangkaian kalimatmu, tak menanggapi ucapanku tadi. Tak apa, sayang, uspaan lembutmu pada jemariku ini jauh lebih menyenangkan hatiku. Kita saling beradu pandang untuk mengisi keheningan, hingga kamu melepaskan pelukan kita. Kamu berbalik untuk menghadapku, langkahmu mundur, memberi jarak, meski jemarimu masih menggenggam jemariku, mengusapnya lembut. Aku tahu, ada yang salah, aku ketakutan, untuk pertama kalinya, aku ingin kamu menutup bibirmu saja, tak mengucapkan apapun, meskipun suaramu adalah melodi terindah bagiku, tapi tidak kali ini, aku hanya ingin kita diam dan saling mengisi, tanpa kata.

"Seokwoo-yah, jadikanlah aku hanya sebagai persinggahanmu."

"Berbeloklah, Kim Seokwoo. Aku bukanlah tujuan hidupmu. Aku hanya sebuah jurang yang hampa, bahkan sungai dan hutan pun tak ada."

"Berbeloklah, putar kemudimu, sebelum kamu jatuh dan kehilangan nyawamu yang berharga, Kim Seokwoo,"

"Anggaplah aku sebagai surau lapuk tempat persinggahanmu yang tak ada artinya,"

"Lupakan aku sebelum semuanya menjadi kenangan yang pahit,"

"Terima kasih, untuk segalanya, tuan calon pengantin,"

"Lanjutkanlah perjalananmu, meskipun masih abu-abu, carilah calon pengantin tujuanmu,"

Aku terlalu terkejut dengan semua ucapanmu, hingga membuka bibirpun aku tak bisa, terlalu kaku, terlalu kelu, terlalu beku. Semua kalimat menyakitkan itu kamu ucapkan dengan tangisan yang menyedihkan, pilu. Sayatannya benar-benar dalam di ulu hatiku. Bagaimana mungkin sebuah tujuan aku ubah menjadi persinggahan? Bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu?
Sudah kukatakan yang sejujurnya kan, Hyeyoon-ah, tujuan hidupku itu kamu. Sepuluh tahun berlalu, satu centimeter pun aku tak dapat memutar kemudi dalam perjalananku.

"Aku harus pergi, Kim Seokwoo."

Kalimatmu di akhiri tanda titik, dan kamu berbalik pergi, meninggalkan tubuh kakuku yang jatuh bersimpuh.

Aku benci itu, aku benci kamu, tujuan hidupku.

***

I was your companion once

Now I have become a stranger to you

***

Ratusan jam setelah kamu menghilang dari pandanganku, kita bertemu. Ada yang berbeda, rambut panjangmu yang indah kini tinggal sebahu. Wajahmu terlihat sayu, awalnya aku tak yakin jika itu kamu, tetapi kakiku tetap melangkah mendekati sosokmu yang berjalan sempoyongan seperti kehilangan keseimbangan.
Aku menangkapmu, sebelum tubuh kecilmu jatuh. Aku menangkapmu, dalam pelukanku. Tubuhmu hangat dan dingin secara bersamaan.

Aku takut.

"Kim Seokwoo?" bibirmu mengucapkan namaku dengan pelan.

Aku mengangguk, "ke rumah sakit ya?" tanyaku, lebih seperti memohon supaya aku mengantarnya ke rumah sakit terdekat.

Ia mengangguk, menutup matanya yang berkedut dan air mata jatuh dari kedua matanya. Aku menggendongnya dalam dekapanku. Berlari ke tepi jalan untuk menghentikan taksi. Aku mengeratkan pelukanku, kesadaranmu semakin menghilang saat jemarimu yang mencengkeram lenganku itu jatuh ke kursi taksi yang kita tumpangi. Aku menggeram dalam tangisku, semakin memelukmu. Meminta supir taksi untuk mempercepat lajunya.

Aku takut.

Aku takut kehilanganmu, meski aku hanya orang asing bagimu.

***

***

I don't touch those flowers

In which even your fragrance is present

***

Floris perempuan itu tersenyum lebar sambil memberikan buket bunga yang aku pesan. Aku mencium buket bunga yang harum itu, membuat floris di depanku ini menyeletuk.

"Meskipun buket bunga ini tak secantik kekasih Anda, tapi saya harap kekasih Anda menyukainya," ujarnya memandangku.

Aku tertawa kecil, tentu saja tak ada satu bunga di dunia ini yang mengalahkan kecantikanmu, sayang. Kan sudah kukatakan waktu kita ke kebun bunga, kamu bertanya, kenapa aku hanya memandangmu, bukan hamparan bunga yang bermekaran itu? Aku kan sudah bilang, aku sedang memandang bunga, bunga yang paling cantik yang pernah aku lihat, itu kamu, Kim Hyeyoon.

Sepuluh tahun berlalu, aku tak pernah menyentuh bunga lagi, semerbak harumnya mengingatkanku padamu, meski tak ada yang seharum dirimu, sayang.

Bullshit.

Tanpa menyentuh bunga pun, dalam pikiranku, hanya ada kamu. Dalam keadaan sadar maupun tak sadar, semua hanya kamu.

Aku benci itu.

***

I am upset with those dreams

In which your presence is there

***

Ratusan jam setelah kamu memutuskan sepihak untuk menjadi tempat persinggahanku yang tak berarti, seluruh malamku adalah siksaan yang berat. Aku sudah bilang kan, sadar tak sadar, hanya ada kamu dalam pikiranku. Setidaknya saat matahari terbit hingga terbenam, aku memiliki kegiatan lain yang mengharuskan mereka menyelinap di antara pikiranku tentangmu. Berbeda lagi saat matahari semakin hilang dan bulan membumbung di langit malam. Bersama bintang yang berkelip terang, kamu datang, dalam mimpiku baik saat mata terbuka maupun terpejam. Kamu di mana-mana.

Aku benci itu.

Bahkan untuk melempar bayanganmu dengan sebuah tissue pun aku tak sanggup. Aku tak bisa menyakitimu, meski kamu menusukku dengan bayanganmu bertubi-tubi tanpa ampun. Bayanganmu, suara tawamu, bahkan suara decit kursi saat kamu akan duduk pun terdengar.

Aku benci itu.

Aku benci setiap kenanganku denganmu seiring berjalannya waktu, terasa semakin nyata.

Tapi, kenapa dokter jiwa bilang, aku tak kenapa-napa?!

***

I didn't get anything in this journey

I just remained a part of this useless journey

I didn't get anything in this journey

I just remained a part of this journey

***

"Sudah kuperingatkan diriku untuk tidak jatuh cinta, apalagi membuat orang lain jatuh cinta padaku."

Lagi-lagi kamu mengatakan hal yang menyakitkan, sesaat setelah kamu sadar. Aku yang duduk di samping ranjangmu. Aku yang menggenggam tanganmu erat. Aku yang mencium telapak tanganmu dengan penuh kerinduan yang tak dapat lagi aku tahan.

"Maafkan aku, Kim Seokwoo."

Aku mengusap air matamu. Aku mengusap pipimu yang semakin tirus. Aku bisa merasakan tonjolan tulang pipimu yang mana ratusan jam sebelumnya tidak seperti ini.

Kamu berbalik menggenggam tanganku. Kamu mulai menangis sesegukan. Aku memelukmu dengan hati-hati, tak ingin selang oksigen itu lepas dan membuatmu kesulitan bernapas.

"Maafkan aku, seharusnya aku sadar diri, dari awal kamu berdiri di sampingku, di depan toko gaun pengantin itu, seharusnya aku tak menoleh, aku tak mengoceh, aku tak menghentikan langkahku saat kamu memanggilku dengan nona calon pengantin," ucapanmu sangat menyakitkan.

"Maafkan aku, karena membuat diriku ini menjadi tujuan hidupmu, maafkan aku,"

"Maafkan aku karena membuatmu mengarungi perjalanan yang sia-sia, Kim Seokwoo."

Aku menggeleng, tidak setuju dengan setiap kata yang kamu ucapkan. Cukup, Kim Hyeyoon. Bibir pucatmu itu seharusnya mengeluarkan melodi yang paling indah, bukan semenyakitkan ini.

Aku benci itu.

Aku benci karena kamu terus meminta maafku.

Apa yang harus aku maafkan, Hyeyoon-ah, jika sejak awal aku melihatmu, itu bukanlah sebuah kesalahan, bukan sebuah dosa.

Apa yang membuatku harus memberimu maaf? Apa?!

Apa yang membuatku harus memberimu maaf? Apa?!

***

It was a fragile home, made of paper

In the rains, it flowed away

***

"Sudah kubilang kan, meskipun kamu menganggapku sebuah rumah, aku hanya sebuah rumah kertas yang rapuh,"

"Tak bisa melindungimu dari hujan, dan tertiup angin semilir saja sudah terbang entah kemana, tidak hancur saja aku sudah bersyukur,"

Lagi dan lagi, kamu mengatakan hal yang sangat menyakitkan. Aku tak suka, aku benci.

"Buka mulutmu, sayang, suapan terakhir makan siang ini," ujarku sambil mendekatkan sendok berisi bubur rumah sakit yang kata kamu rasanya sangat tak enak.

Setelah meminum obat dan memastikan kamu terlelap, aku menghela napas panjang. Aku mengusap punggung tanganmu yang mana uratnya semakin terlihat. Kulitmu semakin pucat, meskipun setiap pagi aku mengajakmu berkeliling rumah sakit, mencari sinar matahari pagi.

Aku tempelkan punggung tanganmu pada pipiku yang juga semakin tirus. Seberapa banyak porsi makananku, semuanya tak terasa, Hyeyoon-ah. Aku tak tahu mengapa metabolisme pencernaanku ikut sekacau pikiranku.

Pintu ruanganmu terbuka, aku menoleh dan membungkuk hormat pada orangtuamu. Mereka membawakanku cemilan untuk menemaniku mengerjakan tugas kantorku di sini, di sampingmu. Orangtuamu tak ada lelahnya mengingatkanku untuk pulang barang sekejap, tidur di apartemenku. Tentu saja aku tak bisa. Kamu adalah rumahku, kemana lagi aku harus pulang? Apartemenku hanya sebuah ruangan yang dipenuhi barang-barang. Rumahku adalah kamu, dan akan selalu begitu.

Sebut saja aku tergila-gila padamu, aku setuju dengan pernyataan itu, meski keluar dari bibir orangtuamu.

Mereka berkali-kali memintaku untuk berbelok, Hyeyoon-ah, persis sama sepertimu.

Aku tak bisa.

Dan.

Aku benci itu.

***

I don't gaze at that moonlight

In which your shadow is there

***

Ribuan jam berlalu, musim berganti, tetapi bayanganmu tetap mengikuti.

Sepuluh tahun sudah, malam ini, aku kembali menatap bulan, setelah ribuan malam aku hanya menatap ke depan, ke bawah, ke samping, ke belakang.

Kamu sudah tahu jawabannya kan, Hyeyoon-ah.

Karena bulan setipis apapun di langit malam sana, berubah menjadi wajah cantikmu di mataku.

Aku tak mau mereka menganggapku tidak waras karena melihat wajahmu di langit malam sana, bersinar dengan indahnya. Aku tak mau.

Aku benci itu.

***

I am far away from the winds

Because these winds may have touched you and come

***

Semilir angin menerpa wajahku, aku bisa merasakan rambutku bergerak karenanya. Aku menutup mata, berusaha menikmati angin sore ini. Di mana cahaya matahari seperti kuas yang menyapu wajahku bak kanvas kosong yang indah. Kata-kata itu membuat bibirku tersungging tipis, itu adalah kalimat yang keluar dari bibir kecilmu, Hyeyoon-ah. Gombalanmu yang membuat pipiku semerah tomat segar.

Srek-srek-srek

Katakanlah aku sakit jiwa, karena yang kini kubayangkan adalah jemari lembutmu mengusap rambutku dengan pelan, seperti sepuluh tahun yang lalu. Suara gesekan dedaunan itu terdengar seperti tawa renyahmu persis di gendang telingaku.

Satu menit berlalu, sakit jiwaku bertambah parah.

Kali ini angin yang menerpa wajahku membawa aroma tanah segar, namun yang kuhirup adalah aroma dirimu. Tubuhmu, Kim Hyeyoon. Aku mencium aromamu.

Kan sudah kubilang, sakit jiwaku semakin parah.

Aku merindukanmu, sangat.

Berapapun waktu berlalu, aku akan tetap merindukanmu, mencintaimu, seperti sepuluh tahun yang lalu, seperti saat pertama aku melihatmu, seperti saat pertama aku mencintaimu, seperti sebelum kamu meninggalkanku, untuk selamanya.



Komentar