Takbir di tanah Jogja


Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar.

Laila hailallah huallah hu Akbar, 

Allahu akbar, walilla hilkham!

Gema takbir itu bersahut-sahutan, ada desir tipis di dada, mengingat kali ini kedua telingaku menangkap frekuensi tersebut bukan di Pemalang atau pun Warureja, Tegal.

Gema takbir itu bersahut-sahutan, ada desir tipis di dada, ternyata aku sendirian di malam Lebaran. Aku kira tak akan sesepi ini, mungkin beda cerita kalau aku tak malas keluar daerah Lodadi atau lebih banyak menghabiskan waktu bertatap muka secara daring bersama kawan sepemikiran. 

Gema takbir itu bersahut-sahutan, bersama debuman kembang api yang terhenti saat aku keluar kamar. Kali ini desiran tipis di dada sudah tak ada, aku sudah mulai terbiasa. Tatap muka daring via whatsapp sudah terjeda dari setengah jam lalu, ibu dan adikku menghabiskan waktu di rumah mungkin ada tamu atau hanya akan berbagi kata berdua. Tatap muka daring via whatsapp sudah berhenti dari satu jam lalu, kawanku juga sibuk dengan kegiatan masing-masing dengan keluarga.

Gema takbir itu bersahut-sahutan, jemariku loncat-loncat di atas huruf-huruf papan ketik untuk menuliskan apa yang ada di kepala. Hapus-ketik-hapus-ketik, ada banyak salah kata dan typo dimana-mana, jujur aku biarkan saja.

Gema takbir itu bersahut-sahutan, awalnya aku pikir pulang ke rumah sebelum lebaran seperti permintaan adikku akan bisa, ternyata tidak juga. Aku sendiri yang memilih untuk menghabiskan bulan suci tahun 2020 ini di sini, di kota Jogjakarta ini, di dekat Merapi, sebelah kampus UII, tepatnya di Lodadi.

Gema takbir itu bersahut-sahutan, kali ini dadaku berdesir bukan karena rindu atau kesepian. Kopi yang kuminum mulai bereaksi, seperti biasa, energi otak mulai terisi, mungkin malam ini aku tak sepenuhnya tidur lagi. 

Gema takbir itu bersahut-sahutan, semoga tahun depan kembali bertemu Ramadhan dalam keadaan tentram, bahagia, dan aman!


Komentar