Salah Satu Ketidakwarasanku

Jika aku mengukur ketidakwarasanku dengan skala angka 1–10, maka kunilai bahwa ketidakwarasanku pada angka 7. Di luar aku yang memang jarang menggunakan otak untuk berpikir logis dan terarah, aku bertindak sesuka hatiku saja. Mulut yang kubuka, suara yang terjadi karena bergetarnya pita suaraku terkadang tidak sejalan dengan otak normal manusia lainnya.

Begitu pula hari itu, di kantin kampus.
“Aku mau ngasih bunga buat mas (…),”” ceplosku di depan teman. Tentu saja temanku tertawa dan senang.
“Ngasih sendiri loh.”
“Iya!”
Dasar mulut tak berotak. Tak terkendali.
Dan, hari wisuda pun tiba. Malamnya aku mewakilkan teman-temanku membeli serangkai bunga untuk mas-nya. Dan lagi, aku yang membuat sebuah surat kecil berisi kata-kata yang ada dalam otak dan hati, terkadang dua organ tubuhku itu dapat diandalkan.
Di bawah terik matahari Sabtu kemarin, kami berjalan sambil tertawa, melihat para kakak tingkat dengan toga melekat pada tubuh mereka. Mas (…) dengan senyum manis menyambut teman-temannya. Kami tertawa, “Ini aku yang ngasih sendiri?” tanyaku masih dengan tawa berderai.
Aku tak menyangka, temanku tega, dengan ponsel di tangan mereka, siap untuk mengabadikan bagaimana aku memberikan serangkai bunga pada mas-nya. Bolak-balik aku ragu, jantung berdetak tak menentu. Bibirku tertawa, tapi jantungku berdetak tak terkira.
“Beneran lah. Sana Ken kasihin!” ujar mereka. Ponsel masih siap di tangan. Dasar ‘teman’!
Aku dengan ragu mendekat ke arahnya, dia sedang sibuk mencari di mana keluarganya. Tumpukan bunga ada dekapan tangannya.
“Mas, selamat ya!” ujarku, setengah mati tidak berteriak.
Dia tersenyum, “Iya, makasih ya.”
Tanpa keselarasan otak dan logika serta rasa malu yang sudah hilang, aku bertanya, “Mas, boleh salaman enggak?”
Aku yakin, dia juga terkejut dengan pertanyaan anehku. Aku rasa tidak aneh sih. Lagi pula, aku menganggapnya seperti idola, aku pun bukan siapa-siapa, hanya seorang adik tingkat yang mungkin namanya saja dia tidak tahu.
“Iya, boleh. Maaf ya ada hapenya,” ujarnya sambil bersalaman denganku.
“Enggak papa kok mas,” shameless.
Setelah itu aku berbalik, pergi. Eh aku balik sebentar, “Mas itu bunga dari kita!” aku menunjuk teman-temanku yang masih menggenggam ponsel mereka, tentu saja dengan kamera mengarah ke arah kami. Tawa masih berderai, puas dengan ‘dare’ yang aku ucapkan sendiri.
“Jangan lupa dibaca suratnya ya mas!” ujarku lagi, aku tahu dia tidak mendengarnya. Fokusnya sudah terpecah.

Note : sudah diposting pada medium.com tanggal 30 Juni 2019. (this link)

Komentar

Posting Komentar