Si Bontot Berbulu Kuning


itu si emak sama anak-anaknya ^^


10 hari yang lalu, tepatnya 7 Agustus 2019.

Siang itu, aku dalam perjalanan pulang ke arah posko kkn-ku. Terik matahari Sidowarno,
seperti biasa membakar kulit bagai api cemburu yang tak memiliki hak.

Siang itu, selepas berkumpul dengan kawan satu jurusan untuk membahas program kerja individu kami, aku pulang sendirian.

Di atas motor vario merah milik mamakku, yang kuberi nama seksi, aku menelusuri jalanan dukuh Butuh.

Siang itu, di belokan terakhir ke arah posko kami, induk ayam dengan anak-anaknya berjalan menyeberang. Apa yang kulakukan? Tentu saja menghentikan seksi untuk mempersilakan keluarga tanpa ayah itu melewati jalanan aspal, menyeberang ke arah lawan.

Aku mulai menjalankan seksi perlahan, namun kuhentikan kembali. Seekor anak ayam berwarna kuning tertinggal. Untuk informasi saja, para cilik-cilik itu  sebelumnya harus melewati sebuah got yang cukup dalam untuk ukuran anak-anak. Dan, ya, si kuning bontot itu tertinggal. Saat sang induk dan sanak saudaranya telah menyeberang aspal Sidowarno, si bontot itu masih melompat-lompat sambil memanggil sang mamah.

“Piyak-piyak!” pekiknya kecil.

Siang itu, di bawah terik matahari, duduk meragu di atas jok seksi, aku kebingungan, “Ini aku bantuin bawa ke atas enggak ya si ayam?” tanyaku dalam hati, bermonolog sendiri.Jujur saja, aku tak berani memegang mamalia selain manusia, alias hewan-hewan entah mamalia, unggas, amfibi, dan sekawan-kawannya.

Saat itu aku memakai jas almamater kebanggaan UII yang berwarna biru mentereng, terbesit pikiranku untuk melepas jas unyu itu dan membawa si bontot ke atas untuk mengejar sang mamah. Tentu saja aku urungkan, mana berani aku melakukan hal senekat itu. Ha-ha-ha.

Aku masih bertengger santai dan meragu menonton si bontot melompat-lompat sambil meneriaki sang mamah.

Naluri seorang ibu, sang induk berbalik dan mencari satu anaknya yang hilang.

I could hear her scream, “anakku-anakku, kamu dimana nak?” serunya sambil kebingungan. Tentu saja, itu hanya imajinasiku belaka.

Di bawah teriknya sinar matahari, si bontot masih melompat-lompat. Ada beberapa detik dia terdiam, berpikir mau bagaimana, lalu dia berjalan ke arah lain, melompat kembali, dan gagal lagi. Sang mamah berjalan ke sana ke mari, mencari keberadaan bulu kuning menggemaskan itu di mana, seperti sinetron Indonesia, saat si bontot melompat, sang mamah tak melihat, saat sang mamah menoleh, si bontot telah tenggelam kedalaman got.

Sebagai manusia yang payah berinteraksi dengan hewan, aku hanya menonton bagai opera sabun. Sebenarnya tidak terlalu menikmati, karena aku takut si bontot tak bertemu mamahnya lagi.

Saat aku akan memarkirkan seksi dan mungkin mencoba menolong, eh, akhirnya si bontot bisa naik ke atas jalanan. Setelah berulang kali jatuh bangun, menjerit pada sang mamah, akhirnya si bontot bertemu lagi dengan induknya.

Aku tersenyum, menikmati kehidupan per-ayam-an ini sendiri.

Kusimpulkan sebuah pesan moral, bahwa, kamu akan berhasil memecahkan masalah, menemukan solusi, mendapatkan jalan jika kamu terus berjuang, bekerja keras, tidak putus asa, dan selalu mencoba cara lain, seperti si bontot anak ayam kuning menggemaskan itu, meskipun menjerit tetapi dia tetap berusaha sekeras mungkin untuk mengejar sang induk dan sanak saudaranya.


Begitulah kehidupan, yang tahan banting lah yang akan bertahan.


Tepat dengan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-74, maka, aku menutup ini dengan sebuah salam.

Salam Kemerdekaan!

Merdeka dari dengki yang merusak jiwa!

Merdeka dari akal dangkal yang membuat perpecahan!

Butuh, Sidowarno, Wonosari, Klaten, 17 Agustus 2019.

Di posisi ujung ruangan, dengan laptop di pangkuan, posko unit 18 KKN UII Angkatan 59.
Sekali lagi, salam kemerdekaan!


Komentar